Hayooo, kapan pertama kali kalian mengalami jatuh cintaaaa??? ;
Seperti lirik lagu jadul ciptaan Titiek Puspa yang mengatakan bahwa jatuh cinta berjuta rasanya, jatuh cinta memang amboy rasanya. Jatuh cinta bisa membuat orang senang, berdebar-debar, lebih bersemangat, senyum-senyum sendiri, mabuk kepayang, dan efek-efek lainnya yang mungkin berbeda pada setiap orang.
Tapi jangan salah, jatuh cinta juga bisa mengakibatkan efek samping, seperti tidak bergairah hidup, hilang akal sehat (termasuk banyak orang yang berpikir untuk bunuh diri), memakai jasa dukun (amit-amit), sakit gigi (karena kalau ngikutin lagu Meggy Z., lebih baik sakit gigi daripada sakit hati), dan sejumlah efek samping lainnya. Mungkin perlu dibuka spesialis baru di dunia kedokteran, yakni spesialis cinta, agar lahir dokter-dokter cinta yang bisa menyelamatkan pasien yang terkena virus cinta. (ngomong apa sih ini?) :p
Aku lupa-lupa ingat kapan pertama kali jatuh cinta. Aku juga gak yakin apakah itu yang dikatakan jatuh cinta atau sekedar suka. Yang jelas, aku masih ingat bagaimana rasanya senang dengan lawan jenis. ;)
Boy 1
Sekitar kelas 5 SD, aku kepincut dengan seorang anak baru pindahan dari kota lain. Aku sering curi-curi pandang dan berimajinasi ia pun memiliki perasaan yang sama denganku. Dan wow, benar ia punya rasa padaku. Senaaaanggg sekali! Hampir tiap hari telponan (maklum jaman dulu belum musim hp buat sms-an), tapi begitu berpapasan di sekolah, kita seperti gak kenal dan seperti gak pernah ngobrol sebelumnya. Rasanya deg-degan sekali, kaki seperti lemas dan enggan melangkah mendekat. Tiba saat telponan lagi, kami saling protes kenapa tadi tidak nyamperin atau setidaknya menyapa. Hihii, kocak! Masih polos banget sampai berusaha tak ada seorang pun yang tahu :D
Hubunganku dengan Pangeran Kecil (begitu aku mengistilahkan-nya) terus berlangsung hingga kami lulus SD. Kami sepakat meneruskan sekolah ke SMP yang sama. Entah bagaimana, hubungan kami merenggang. Namun terakhir kami kontak di telepon, aku menangkap bahwa ia masih menjaga hatinya untukku. Bahkan sampai kelas 2 SMP, aku masih sempat diolok-olok teman sekelasnya (kami berbeda kelas) bahwa ia masih menyimpan rasa padaku.
Hingga pada suatu hari, usai latihan Pramuka, teman satu reguku yang sekelas dengan Pangeran Kecil memberiku sebuah titipan surat, darinya! Aku terkejut. Berdebar-debar aku membacanya. Ia mengabari bahwa ia sekeluarga akan pindah ke Jakarta. Seketika aku lemas, ingin menghubungi via telepon (satu-satunya media komunikasi saat itu) namun nomor rumahnya tak bisa-bisa dihubungi. Saat itu juga aku sadar aku akan hilang kontak dengannya.
Benar saja, kami hilang kontak. Aku mencoba mengiriminya surat ke alamat yang ia berikan di surat, namun karena alamat itu tanpa kode pos, terlebih untuk ukuran kota Jakarta, aku tak yakin suratku sampai. Bertahun-tahun kemudian baru kami berjumpa lagi dengan bantuan situs Friendster.
Antara percaya dan tidak aku bisa kontak lagi dengannya, dan kami bercerita banyak tentang kehidupan kami masing-masing. Sepertinya rasa yang dulu masih ada. Beberapa lama kami dekat (lagi), namun tidak jadian. Mungkin kedekatan kami setelah sekian lama berpisah hanya euforia. Ia masih seperti yang kukenal dulu, dan hingga kini kami masih dekat, seperti sahabat lama.
Mengenalnya membuatku belajar bagaimana bersikap tenang, kalem, sederhana, apik, teratur, giat, dan berhati-hati dalam bergaul. Seperti ada sesuatu yang lain berteman dengannya. Kami seperti sudah atau pernah saling mengenal sehingga aku bisa leluasa bercerita dan minta bantuannya.
Kalau dipikir-pikir, lucu sekali. Sebenarnya waktu SD dulu tidak ada kata jadian di antara kami. Tidak ada tersirat ataupun tersurat kata-kata untuk menjadi pacar. Tapi kenapa dia harus mengirimiku surat saat mau pindah ke Jakarta? Dan ternyata, bukan aku saja yang selalu berusaha menghubunginya, dia juga. Kami pernah merasa saling kehilangan.
Boy 2
Lalu kelas 2 SMP, aku jadian dengan cowok yang belakangan aku tahu ternyata mak comblang temannya sendiri yang minta tolong diurus denganku. Aku sama sekali tidak tahu. Pantas saja temannya yang minta dicomblangi itu jadi memusuhiku, dan bahkan cukup sering menghasut aku dengan mantanku ini. Oya, nama mantanku ini Jun, dulu ia menyingkat namanya dengan inisial "JK". Saat kutanya mengapa menyingkatnya demikian, ia bilang ia menyukai kedua huruf tersebut, apalagi juga bisa dijadikan singkatan nama kami berdua, "JunKika". Hiii, maksa! Aya-aya wae!
Untuk ukuran anak SMP (mungkin), kami berhubungan cukup lama. Kami bertahan sampai masuk SMA. Kenapa aku bilang bertahan, karena banyak sekali godaan yang mencoba menggoyahkan kami. Mengadu domba, memanas-manasi, memfitnah...piuh!
Dulu aku cukup serius dengannya, sampai-sampai aku bela-belain masuk ke SMA yang sama dengannya untuk bisa terus bersama. Aku ingat ketika aku bilang padanya ingin sekolah di Medan karena diminta (alm.) Papa, ia dengan akalnya meresponku begini:
"Ya gak apa-apa sekolah di Medan, berarti aku bebas dari senin sampai jumat pacaran sama yang lain disini. Kita sabtu-minggu aja pacarannya, itu juga kalau kamu dateng kesini."
What?!
Kepolosanku dan rasa sayang (atau rasa suka yang terlalu ya??) membuatku membujuk Papa untuk mengijinkan sekolah di Siantar saja. Tapi pengorbananku dibalas air tuba. Jun berubah seolah aku telah melakukan kesalahan besar padanya, namun ia tidak mau membicarakannya. Ia main hakim sendiri. Belakangan aku tahu, ia dikomporin temannya yang dulu minta dicomblangi itu dengan mengatakan entah apa tentangku, yang sukses memberaikan kami. Tepat di malam hari pertama kami mulai sekolah, kami putus. Aku sudah berusaha mengajaknya membicarakan baik-baik, namun ia membeku. Memang tidak ada kata putus, namun pembicaraan di telepon malam itu meneguhkanku untuk menyudahi hubungan dengannya.
Aku : "Bener gak ada yang mau diomongin lagi?"
Jun : "Iya."
Aku : "Oh ya udah kalo gitu. Aku matiin teleponnya ya?"
Jun : "Iya."
Sesak rasanya menahan tangis agar air mata tidak jatuh menetes. Lalu sambil menyetrika seragam sekolahku, aku menguatkan hati untuk tidak menangisinya. Cuih! Hehe. Alhamdulillah, dalam sekejap aku bangkit. Esok harinya di sekolah aku sudah tidak menganggapnya lagi. Malah hari-hari berikutnya aku sering berpura-pura muntah kalau dia lewat berpapasan denganku. :D
Mengenalnya membuatku belajar untuk membicarakan segala sesuatu yang mengganjal agar tidak berprasangka buruk pada pasangan kita. Sifat cool-nya justru menyiksaku, ia tidak mau musyawarah, dan hal ini yang membuatnya jadi main hakim sendiri. Menilaiku dengan persepsinya, interpretasinya. Hmm, aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayangi karena salah paham, karena egoku yang tidak mau mendengarkan pasanganku.
Boy 3
Sekitar pertengahan kelas 1 SMA, aku jadian dengan Ketua OSIS-ku. Bisa dibilang masa jadian kami tidak lama, yang lama adalah masa pedekatenya.
Pak Ketos (singkatan ketua osis) adalah orang yang diperhitungkan tidak hanya di tingkat sekolah namun juga tingkat kotamadya. Ia menjadi nominasi Paskibraka Nasional namun gugur di tingkat propinsi. Bakatnya di bidang musik dikenal baik di lingkungan sekolah dan gereja. Sifat kepemimpinan dan humoris membuatnya disenangi banyak orang.
Kelas dua akhir caturwulan satu, aku pindah ke Medan, ke sekolah yang mana seharusnya aku melamar masuk kesitu sejak awal kelas satu. Aku pindah ke SMA Negeri 1 Medan. Tentunya ini membuat aku dan Pak Ketos menjalani hubungan jarak jauh.
Aku sebenarnya tidak masalah, menurutku yang terpenting adalah komunikasi dan rasa saling percaya. Dengan sabar dan setia aku menjalani hubungan jarak jauh perdanaku ini. Aku rajin ke wartel untuk bisa menanyai kabarnya (wartel saat itu lagi trend, hehe). Hingga aku sadar ada yang berubah darinya ketika aku terus mencoba menghubunginya. Ia jadi jarang meneleponku, sering menghindar ketika kuhubungi, kadang mau menerima teleponku, kadang tidak. Ia jadi jarang meneleponku, sampai akhirnya ia benar-benar tidak mau lagi berhubungan denganku.
Tentu saja aku heran. Aku salah apa? Aku tidak pernah tahu alasannya hingga suatu hari sepulang gereja ia memberiku surat. Surat pemberitahuan putus yang berisi tinta merah. Dari semua lembar suratnya, aku tak juga tahu alasan ia mengakhiri hubungan denganku. Yang jelas bisa kutangkap maksudnya, ia marah besar padaku.
Sikapnya yang demikian benar-benar membuatku depresi. Berat badanku turun sampai tujuh kilo. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Masa-masa sulit buatku, apalagi mungkin itu adalah pertama kali aku mengalami patah hati.
Mengenalnya membuatku belajar lagi untuk membicarakan segala sesuatu yang mengganjal agar kita tidak berprasangka buruk dengan pasangan kita. Apa susahnya kita mengajak pasangan kita bicara empat mata?? Oke, mungkin berat, apalagi jika kita tengah dalam keadaan emosi. Apapun yang membuat kita mendidih, bukannya hati boleh panas namun kepala tetap dingin?? Berprasangka buruk dan tidak berusaha mengkonfirmasi dapat berakibat buruk sekali, memungkinkan kita mengambil keputusan sepihak karena kita merasa di pihak yang benar. Padahal kalau ditilik, kenapa kita bisa sampai punya prasangka buruk terhadap pasangan kita? Ada kompornya, ada oknumnya. Waspadalah, waspadalah! Aku semakin belajar, aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayangi karena salah paham; karena egoku yang tidak mau mendengarkan pasanganku.
Boy 4
Kelas 3 SMA, aku jadian dengan teman satu sekolahku. Ia sudah menaruh hati padaku sejak pertama melihatku (katanya). Awalnya aku sama sekali tidak menyukainya. Tiap ia mendatangi kelasku (kami beda kelas), aku selalu ingin melarikan diri. Namun entah bagaimana, aku jatuh juga. Hubungan kami berjalan kurang lebih lima tahun. Beda agama di antara kami pernah membuat kami sangat dekat, pernah pula membuat kami berpisah. Dulu aku merasa sangat menyayanginya, terlalu menyayanginya.
Sekitar pertengahan 2007, atau sekitar 4,5 tahun hubungan kami, kami sering memanas. Hal-hal kecil yang remeh-temeh bisa memicu kemarahan yang besar. Mungkin umur 4,5 tahun adalah masa-masa jenuh bagi suatu hubungan. Aku cukup sering mengajaknya membicarakan masalah ini, mengajak mencari solusi agar rasa yang ada di antara kami tidak pudar, agar kami mampu melalui masa-masa jenuh ini untuk terus bersama, namun ia sering menolak ajakanku. Ia tidak menganggap penting hal ini, menurutnya yang perlu diubah adalah aku, yakni bagaimana agar aku tidak mudah marah terhadap hal-hal kecil.
Aku akui aku termasuk cepat marah, tapi aku mau berubah kok! Hanya saja aku butuh bantuannya. Dalam konteks pacaran 'kan pelakunya ada dua orang, gimana aku bisa belajar tidak cepat marah kalau dibuat marah terus? Kesal rasanya terus dituntut tidak boleh marah-marah tapi terus dibuat marah. Harus ada unsur saling atuh...Huuh!
Setelah dipikir lebih jauh, rasanya tidak mungkin melanjutkan hubungan yang sudah tidak sehat lagi. Aku putus baik-baik dengannya. Ya, awalnya memang putus baik-baik, namun lalu ia menyesali keputusan ini, lebih jauh ia menyesali mengapa tidak mendengarkanku sejak dulu untuk mencoba perubahan.
Mengenalnya membuatku belajar untuk menghargai hal-hal yang orang kita sayangi lakukan untuk kita dengan tidak menganggapnya sebagai "suatu hal rutin yang biasa dilakukan"; bahwa apa yang dilakukan oleh orang yang kita sayangi kepada kita bukanlah bentuk rutinitas, namun bentuk kasih sayang. Upayakan agar kita menghargainya, membalasnya. Kita bukan pusat dari hubungan yang dijalani, kita bukan aktor utama. Aku seringkali sedih dan kecewa oleh sikap acuhnya terhadap apapun yang kulakukan dan kuminta. Harus ada unsur saling untuk mengimbangi, jangan berpikir bahwa kita adalah objek yang dikenai tindakan terus menerus.
Mengenalnya juga membuatku belajar berbagi. Kami sering patungan jika membayar sesuatu. Ini bukan soal gengsi, tapi pengertian antara kita dan pasangan. Pengetahuannya yang cukup baik tentang agama, caranya memandang hidup dengan landasan agama, membuatku memegang prinsip hidup beragama yang moderat. Cara berpikirnya dalam menilai seseorang dan sesuatu juga menambah wawasan belajarku. Sikapnya yang sangat patuh terhadap ibu nya membantuku berusaha lebih menyayangi dan menghormati Mama. Kemampuannya survive dengan keterbatasan dana asupan dari orang tua membuatku lebih belajar berhemat.
Aku juga belajar untuk tidak memaksakan kehendakku agar ia berlaku seperti yang aku inginkan. Aku sering sekali komplain jika ia bertingkah, bersikap, yang tidak sesuai kesukaanku. Secara tidak langsung aku memintanya menjadi bukan dirinya. Ini membuatnya tertekan. Sebenarnya aku menerima dia apa adanya, hanya saja kalau ada polah tingkahnya yang aneh dan tidak sesuai kesukaanku, biasanya aku langsung protes. Dari sini aku belajar untuk benar-benar membiarkannya menjadi diri sendiri 100%. Dan yang terpenting, aku belajar untuk tidak mencintai dengan kadar terlalu, karena jika kita terlalu mencintai manusia, kita akan buta. Sedangkan Allah memiliki sifat pencemburu, Dia tidak ingin umat-Nya mencintai sesamanya melebihi cinta pada-Nya. Mungkin Allah menegur kami, khususnya aku; untuk tidak terlalu mencintai. Dia mengambilnya dariku, memisahkannya dariku. Aku tidak ingin (lagi) kehilangan orang yang aku cintai; sayangi. Aku harus belajar untuk mencintai dengan wajar.
Boy 5
Setelahnya, aku berhubungan dengan berondong untuk pertama kalinya. Hubunganku dengannya tidak berlangsung lama, malah bisa dikatakan cepat, hanya sekitar 7 bulan. Ada saja hal-hal yang membuatku cepat naik darah. Akhirnya sikap dan pemikirannya tentang harapannya terhadap sosok seorang istri membuatku angkat tangan.
Ia selalu memonopoli waktuku untuk terus bersamanya. Aku nyaris tidak bergaul dengan teman-temanku selama menjalin hubungan dengannya. Apa saja yang aku butuhkan akan ia sanggupi, entah itu untuk mengantarku kemana saja mencari kebutuhanku, menemani hingga aku menyelesaikan urusan kebutuhanku, tapi tidak untuk aku main bersama teman-temanku.
Ia tahu keinginanku menjadi diplomat (berondong perdanaku ini anak jurusan Hubungan Internasional), ia juga tahu ketertarikanku pada bidang hubungan mancanegara. Ia tahu apa yang menjadi harapanku, cita-citaku. Tapi sepertinya ia berencana memingitku. Begini katanya,
"Udah, nanti jadi istri diplomat aja. Kan kalo udah jadi istri diplomat gak usah kerja lagi, di rumah aja."
What?!
Ia berkata demikian dengan maksud yang menjadi diplomat adalah dirinya, dan aku yang akan menjadi istri(nya). Apa katanya? Gak usah kerja lagi?? Di rumah aja??? +_+
Kata-katanya membuatku ilfeel dan menyadari aku dan dia berbeda pandangan tentang peran suami dan istri. Aku setuju dengan kata-kata temanku saat aku menceritakan hal ini pada temanku itu :
"Ihh dia itu ya, anak hubungan internasional tapi kok cara berpikirnya konvensional. Global donk!"
Mengenalnya membuatku belajar untuk tidak posesif terhadap pasangan kita. Setiap orang punya komunitasnya sendiri. Sebelum berpacaran, setiap orang sudah punya dunia masing-masing. Pasangan kita juga perlu dan butuh bersosialisasi. Dunia bukan hanya milik berdua, milik orang banyak bo'! Mengenalnya juga membuatku belajar untuk tidak egois pada pasangan kita dalam memberinya kebebasan memilih jalan karirnya. Kebebasan bersyarat, tentu saja. Setiap orang punya kebutuhan dan kemampuan untuk berkarya. Kenapa harus merumahkan istri? Mungkin maksudnya agar istri fokus pada pekerjaan rumah tangga, tapi semua kan bisa dibicarakan?
Aku belajar untuk menghormati dan menghargai permintaan pasangan kita tentang pilihan bekerja bagi perempuan jika sudah menikah. Bagaimanapun aku adalah perempuan, aku harus tetap menurut pada suami. Namun bukan berarti aku jadi pingitan. Apalagi aku melihat maksud mantanku ini bukan karena agar aku fokus pada pekerjaan rumah tangga, namun lebih pada sifat pencemburunya yang cenderung posesif. -_-"
Boy 6
Usai dengannya, aku kembali jalan dengan berondong; teman satu perguruan silatku. Dari awal aku sudah diingatkan teman-temanku untuk tidak wasting time menjalin hubungan dengannya. Namun aku bersikukuh akan menerjang badai bersamanya. Yang ada aku malah terhempas badai dan ia yang menghembuskan badai itu padaku.
Selama dengannya, aku selalu menepis berbagai ketidakmungkinan yang ada untuk bersatu. Aku lupa pelajaran dari pengalamanku dengan mantanku yang 5 tahun bahwa seharusnya aku tidak terlalu mencintai. Aku terlalu mencintainya, menyayanginya, mengorbankan nama baikku demi nama cinta. Kalau dipikir-pikir tindakanku itu sungguh beresiko. Apa yang aku lakukan demi dia sudah terlalu jauh, sudah melampaui batas. Uang, harga diri, nama baik, resiko kehilangan teman-teman, menjadi taruhannya.
Rentang waktu sekitar 8 bulan bersamanya berakhir dengan kesakitan. Bukan maksud mengungkit-ungkit apa yang telah aku perbuat, namun ia bahkan tak menginginkan kehadiranku lagi dalam kehidupannya. Segala daya telah aku upayakan untuk memberinya pengertian, segala daya telah aku upayakan untuk tetap kuat bertahan jalan dengannya, aku benar-benar sudah menembus batas. Aku lupa. Harusnya aku mencintainya dengan wajar. Mungkin Allah menegurku (lagi) dengan memisahkannya dariku.
Mengenalnya membuatku belajar untuk tetap memakai akal logika dan insting dalam menjalin suatu hubungan. Cinta memang ajaib, membuat orang lemah jadi kuat dan membuat orang kuat menjadi lemah. Membuat orang optimis melalui semua aral yang melintang. Namun cinta tidak boleh sampai membuat kita buta, tuli. Cinta tetap butuh logika. Mengenalnya juga membuatku belajar untuk tidak memaksakan diri berbuat sesuatu di luar kemampuan kita. Ingat, mencintai dengan wajar! Well, cinta memang bisa mendorong kita berbuat lebih dari kemampuan kita, tapi harus tetap diingat apa tujuan dan resiko dari tindakan kita. Cinta tetap butuh logika.
Mengenalnya juga membuatku menyadari bahwa tidak selalu memiliki banyak persamaan dengan pasangan kita adalah hal yang baik. Sama-sama berperasaan halus, kadang bisa membuat lebih pengertian, kadang juga bisa memicu rasa cepat tersinggung. Perbedaan yang ada jangan selalu disikapi negatif. Saling mengisi dan melengkapi sangat dimungkinkan terjadi dari perbedaan yang ada. Contohnya jika yang satu hemat, dan yang satu boros. Dan yang terpenting, aku kembali belajar untuk tidak mencintai dengan kadar terlalu, karena jika kita terlalu mencintai manusia, kita akan buta. Aku tidak ingin (lagi-lagi) kehilangan orang yang aku cintai; sayangi. Aku jadi semakin belajar untuk mencintai dengan wajar.
Semua kisah masa laluku aku jadikan pengalaman berharga yang mengajariku menyikapi kehidupan, khususnya kehidupan percintaan. Rasa senang, bahagia, sedih ataupun sakit karena cinta membuatku lebih dewasa menjalani kehidupan cintaku saat ini.
Saat ini aku menjalin hubungan dengan teman SMA-ku. Insya Allah Calon Jaksaku, demikian aku sering memanggilnya, adalah pelabuhan hatiku yang terakhir, amin. Reuni kecil bersama teman SMA yang diadakan di Jakarta menjadi awal rasa cinta tumbuh di antara kami. Dan alhamdulillah, aku merasa diringankan dalam mencintainya. Pelajaran yang aku ambil dari kisah-kisah masa laluku sangat membantuku menghadapi dan menyikapi Calon Jaksaku.
Kini aku tidak mudah marah terhadap hal-hal kecil yang remeh-temeh, aku tidak memaksakan kehendakku untuk dia bertingkah sesuai kesukaanku, dan alhamdulillah aku gak ilfeel dengan keanehannya!! ^_^ Aku tetap berusaha mengajaknya bicara tentang segala sesuatu yang mengganjal walaupun aku dan atau dia tengah emosi, aku tidak menutup telingaku untuk mendengar penjelasannya.
Aku jadi lebih menghargai apa saja yang dilakukan pasanganku, karena aku tidak ingin pasanganku merasakan sedih dan kecewa seperti yang dulu aku alami ketika mantanku mengacuhkan apa yang telah aku perbuat untuknya. Aku semakin disadarkan oleh pasanganku sekarang bahwa bukan hanya aku yang butuh disayangi, namun ia pun juga. Aku memberinya kebebasan bermain bersama teman-temannya karena aku tidak ingin ia merasa kehilangan kehidupannya yang lain setelah berhubungan denganku sebagaimana aku pernah merasakannya dulu dengan berondong konvensional. Aku juga selalu berusaha mendukung langkahnya ke depan dalam meniti karir dan pendidikan yang lebih tinggi agar ia tidak merasa terhalangi olehku seperti aku tidak suka dihalangi.
To all the boys I've loved before, terima kasih untuk asam manis cinta yang pernah kalian berikan padaku. Terima kasih untuk tawa dan air mata yang pernah tercipta. Semuanya membantu mendewasakanku, menempaku menjadi lebih matang menghadapi (insya Allah) cinta sejatiku kini.
Bagi teman-teman sekalian, aku pikir kalian juga punya masa lalu. Pasangan kalian pun (mungkin) punya masa lalu. Belajarlah dari kisah kalian yang dahulu untuk menjadi lebih baik dalam mencintai pasangan kalian kini, dan untuk menjadi lebih layak dicintai oleh pasangan kalian kini. Kita bisa lebih baik sekarang karena masa lalu, dan apa yang kita lakukan sekarang adalah untuk masa depan.
Teruntukmu Cin(t)a-ku, jangan lagi kau ragukan cintaku padamu. Aku telah mengunci hatiku untukmu.
Mereka adalah masa laluku, hanya masa laluku. Masa sekarang, dan masa depanku, insya Allah adalah bersamamu, amin. ^_^
Seperti lirik lagu jadul ciptaan Titiek Puspa yang mengatakan bahwa jatuh cinta berjuta rasanya, jatuh cinta memang amboy rasanya. Jatuh cinta bisa membuat orang senang, berdebar-debar, lebih bersemangat, senyum-senyum sendiri, mabuk kepayang, dan efek-efek lainnya yang mungkin berbeda pada setiap orang.
Tapi jangan salah, jatuh cinta juga bisa mengakibatkan efek samping, seperti tidak bergairah hidup, hilang akal sehat (termasuk banyak orang yang berpikir untuk bunuh diri), memakai jasa dukun (amit-amit), sakit gigi (karena kalau ngikutin lagu Meggy Z., lebih baik sakit gigi daripada sakit hati), dan sejumlah efek samping lainnya. Mungkin perlu dibuka spesialis baru di dunia kedokteran, yakni spesialis cinta, agar lahir dokter-dokter cinta yang bisa menyelamatkan pasien yang terkena virus cinta. (ngomong apa sih ini?) :p
Aku lupa-lupa ingat kapan pertama kali jatuh cinta. Aku juga gak yakin apakah itu yang dikatakan jatuh cinta atau sekedar suka. Yang jelas, aku masih ingat bagaimana rasanya senang dengan lawan jenis. ;)
Boy 1
Sekitar kelas 5 SD, aku kepincut dengan seorang anak baru pindahan dari kota lain. Aku sering curi-curi pandang dan berimajinasi ia pun memiliki perasaan yang sama denganku. Dan wow, benar ia punya rasa padaku. Senaaaanggg sekali! Hampir tiap hari telponan (maklum jaman dulu belum musim hp buat sms-an), tapi begitu berpapasan di sekolah, kita seperti gak kenal dan seperti gak pernah ngobrol sebelumnya. Rasanya deg-degan sekali, kaki seperti lemas dan enggan melangkah mendekat. Tiba saat telponan lagi, kami saling protes kenapa tadi tidak nyamperin atau setidaknya menyapa. Hihii, kocak! Masih polos banget sampai berusaha tak ada seorang pun yang tahu :D
Hubunganku dengan Pangeran Kecil (begitu aku mengistilahkan-nya) terus berlangsung hingga kami lulus SD. Kami sepakat meneruskan sekolah ke SMP yang sama. Entah bagaimana, hubungan kami merenggang. Namun terakhir kami kontak di telepon, aku menangkap bahwa ia masih menjaga hatinya untukku. Bahkan sampai kelas 2 SMP, aku masih sempat diolok-olok teman sekelasnya (kami berbeda kelas) bahwa ia masih menyimpan rasa padaku.
Hingga pada suatu hari, usai latihan Pramuka, teman satu reguku yang sekelas dengan Pangeran Kecil memberiku sebuah titipan surat, darinya! Aku terkejut. Berdebar-debar aku membacanya. Ia mengabari bahwa ia sekeluarga akan pindah ke Jakarta. Seketika aku lemas, ingin menghubungi via telepon (satu-satunya media komunikasi saat itu) namun nomor rumahnya tak bisa-bisa dihubungi. Saat itu juga aku sadar aku akan hilang kontak dengannya.
Benar saja, kami hilang kontak. Aku mencoba mengiriminya surat ke alamat yang ia berikan di surat, namun karena alamat itu tanpa kode pos, terlebih untuk ukuran kota Jakarta, aku tak yakin suratku sampai. Bertahun-tahun kemudian baru kami berjumpa lagi dengan bantuan situs Friendster.
Antara percaya dan tidak aku bisa kontak lagi dengannya, dan kami bercerita banyak tentang kehidupan kami masing-masing. Sepertinya rasa yang dulu masih ada. Beberapa lama kami dekat (lagi), namun tidak jadian. Mungkin kedekatan kami setelah sekian lama berpisah hanya euforia. Ia masih seperti yang kukenal dulu, dan hingga kini kami masih dekat, seperti sahabat lama.
Mengenalnya membuatku belajar bagaimana bersikap tenang, kalem, sederhana, apik, teratur, giat, dan berhati-hati dalam bergaul. Seperti ada sesuatu yang lain berteman dengannya. Kami seperti sudah atau pernah saling mengenal sehingga aku bisa leluasa bercerita dan minta bantuannya.
Kalau dipikir-pikir, lucu sekali. Sebenarnya waktu SD dulu tidak ada kata jadian di antara kami. Tidak ada tersirat ataupun tersurat kata-kata untuk menjadi pacar. Tapi kenapa dia harus mengirimiku surat saat mau pindah ke Jakarta? Dan ternyata, bukan aku saja yang selalu berusaha menghubunginya, dia juga. Kami pernah merasa saling kehilangan.
Boy 2
Lalu kelas 2 SMP, aku jadian dengan cowok yang belakangan aku tahu ternyata mak comblang temannya sendiri yang minta tolong diurus denganku. Aku sama sekali tidak tahu. Pantas saja temannya yang minta dicomblangi itu jadi memusuhiku, dan bahkan cukup sering menghasut aku dengan mantanku ini. Oya, nama mantanku ini Jun, dulu ia menyingkat namanya dengan inisial "JK". Saat kutanya mengapa menyingkatnya demikian, ia bilang ia menyukai kedua huruf tersebut, apalagi juga bisa dijadikan singkatan nama kami berdua, "JunKika". Hiii, maksa! Aya-aya wae!
Untuk ukuran anak SMP (mungkin), kami berhubungan cukup lama. Kami bertahan sampai masuk SMA. Kenapa aku bilang bertahan, karena banyak sekali godaan yang mencoba menggoyahkan kami. Mengadu domba, memanas-manasi, memfitnah...piuh!
Dulu aku cukup serius dengannya, sampai-sampai aku bela-belain masuk ke SMA yang sama dengannya untuk bisa terus bersama. Aku ingat ketika aku bilang padanya ingin sekolah di Medan karena diminta (alm.) Papa, ia dengan akalnya meresponku begini:
"Ya gak apa-apa sekolah di Medan, berarti aku bebas dari senin sampai jumat pacaran sama yang lain disini. Kita sabtu-minggu aja pacarannya, itu juga kalau kamu dateng kesini."
What?!
Kepolosanku dan rasa sayang (atau rasa suka yang terlalu ya??) membuatku membujuk Papa untuk mengijinkan sekolah di Siantar saja. Tapi pengorbananku dibalas air tuba. Jun berubah seolah aku telah melakukan kesalahan besar padanya, namun ia tidak mau membicarakannya. Ia main hakim sendiri. Belakangan aku tahu, ia dikomporin temannya yang dulu minta dicomblangi itu dengan mengatakan entah apa tentangku, yang sukses memberaikan kami. Tepat di malam hari pertama kami mulai sekolah, kami putus. Aku sudah berusaha mengajaknya membicarakan baik-baik, namun ia membeku. Memang tidak ada kata putus, namun pembicaraan di telepon malam itu meneguhkanku untuk menyudahi hubungan dengannya.
Aku : "Bener gak ada yang mau diomongin lagi?"
Jun : "Iya."
Aku : "Oh ya udah kalo gitu. Aku matiin teleponnya ya?"
Jun : "Iya."
Sesak rasanya menahan tangis agar air mata tidak jatuh menetes. Lalu sambil menyetrika seragam sekolahku, aku menguatkan hati untuk tidak menangisinya. Cuih! Hehe. Alhamdulillah, dalam sekejap aku bangkit. Esok harinya di sekolah aku sudah tidak menganggapnya lagi. Malah hari-hari berikutnya aku sering berpura-pura muntah kalau dia lewat berpapasan denganku. :D
Mengenalnya membuatku belajar untuk membicarakan segala sesuatu yang mengganjal agar tidak berprasangka buruk pada pasangan kita. Sifat cool-nya justru menyiksaku, ia tidak mau musyawarah, dan hal ini yang membuatnya jadi main hakim sendiri. Menilaiku dengan persepsinya, interpretasinya. Hmm, aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayangi karena salah paham, karena egoku yang tidak mau mendengarkan pasanganku.
Boy 3
Sekitar pertengahan kelas 1 SMA, aku jadian dengan Ketua OSIS-ku. Bisa dibilang masa jadian kami tidak lama, yang lama adalah masa pedekatenya.
Pak Ketos (singkatan ketua osis) adalah orang yang diperhitungkan tidak hanya di tingkat sekolah namun juga tingkat kotamadya. Ia menjadi nominasi Paskibraka Nasional namun gugur di tingkat propinsi. Bakatnya di bidang musik dikenal baik di lingkungan sekolah dan gereja. Sifat kepemimpinan dan humoris membuatnya disenangi banyak orang.
Kelas dua akhir caturwulan satu, aku pindah ke Medan, ke sekolah yang mana seharusnya aku melamar masuk kesitu sejak awal kelas satu. Aku pindah ke SMA Negeri 1 Medan. Tentunya ini membuat aku dan Pak Ketos menjalani hubungan jarak jauh.
Aku sebenarnya tidak masalah, menurutku yang terpenting adalah komunikasi dan rasa saling percaya. Dengan sabar dan setia aku menjalani hubungan jarak jauh perdanaku ini. Aku rajin ke wartel untuk bisa menanyai kabarnya (wartel saat itu lagi trend, hehe). Hingga aku sadar ada yang berubah darinya ketika aku terus mencoba menghubunginya. Ia jadi jarang meneleponku, sering menghindar ketika kuhubungi, kadang mau menerima teleponku, kadang tidak. Ia jadi jarang meneleponku, sampai akhirnya ia benar-benar tidak mau lagi berhubungan denganku.
Tentu saja aku heran. Aku salah apa? Aku tidak pernah tahu alasannya hingga suatu hari sepulang gereja ia memberiku surat. Surat pemberitahuan putus yang berisi tinta merah. Dari semua lembar suratnya, aku tak juga tahu alasan ia mengakhiri hubungan denganku. Yang jelas bisa kutangkap maksudnya, ia marah besar padaku.
Sikapnya yang demikian benar-benar membuatku depresi. Berat badanku turun sampai tujuh kilo. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Masa-masa sulit buatku, apalagi mungkin itu adalah pertama kali aku mengalami patah hati.
Mengenalnya membuatku belajar lagi untuk membicarakan segala sesuatu yang mengganjal agar kita tidak berprasangka buruk dengan pasangan kita. Apa susahnya kita mengajak pasangan kita bicara empat mata?? Oke, mungkin berat, apalagi jika kita tengah dalam keadaan emosi. Apapun yang membuat kita mendidih, bukannya hati boleh panas namun kepala tetap dingin?? Berprasangka buruk dan tidak berusaha mengkonfirmasi dapat berakibat buruk sekali, memungkinkan kita mengambil keputusan sepihak karena kita merasa di pihak yang benar. Padahal kalau ditilik, kenapa kita bisa sampai punya prasangka buruk terhadap pasangan kita? Ada kompornya, ada oknumnya. Waspadalah, waspadalah! Aku semakin belajar, aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayangi karena salah paham; karena egoku yang tidak mau mendengarkan pasanganku.
Boy 4
Kelas 3 SMA, aku jadian dengan teman satu sekolahku. Ia sudah menaruh hati padaku sejak pertama melihatku (katanya). Awalnya aku sama sekali tidak menyukainya. Tiap ia mendatangi kelasku (kami beda kelas), aku selalu ingin melarikan diri. Namun entah bagaimana, aku jatuh juga. Hubungan kami berjalan kurang lebih lima tahun. Beda agama di antara kami pernah membuat kami sangat dekat, pernah pula membuat kami berpisah. Dulu aku merasa sangat menyayanginya, terlalu menyayanginya.
Sekitar pertengahan 2007, atau sekitar 4,5 tahun hubungan kami, kami sering memanas. Hal-hal kecil yang remeh-temeh bisa memicu kemarahan yang besar. Mungkin umur 4,5 tahun adalah masa-masa jenuh bagi suatu hubungan. Aku cukup sering mengajaknya membicarakan masalah ini, mengajak mencari solusi agar rasa yang ada di antara kami tidak pudar, agar kami mampu melalui masa-masa jenuh ini untuk terus bersama, namun ia sering menolak ajakanku. Ia tidak menganggap penting hal ini, menurutnya yang perlu diubah adalah aku, yakni bagaimana agar aku tidak mudah marah terhadap hal-hal kecil.
Aku akui aku termasuk cepat marah, tapi aku mau berubah kok! Hanya saja aku butuh bantuannya. Dalam konteks pacaran 'kan pelakunya ada dua orang, gimana aku bisa belajar tidak cepat marah kalau dibuat marah terus? Kesal rasanya terus dituntut tidak boleh marah-marah tapi terus dibuat marah. Harus ada unsur saling atuh...Huuh!
Setelah dipikir lebih jauh, rasanya tidak mungkin melanjutkan hubungan yang sudah tidak sehat lagi. Aku putus baik-baik dengannya. Ya, awalnya memang putus baik-baik, namun lalu ia menyesali keputusan ini, lebih jauh ia menyesali mengapa tidak mendengarkanku sejak dulu untuk mencoba perubahan.
Mengenalnya membuatku belajar untuk menghargai hal-hal yang orang kita sayangi lakukan untuk kita dengan tidak menganggapnya sebagai "suatu hal rutin yang biasa dilakukan"; bahwa apa yang dilakukan oleh orang yang kita sayangi kepada kita bukanlah bentuk rutinitas, namun bentuk kasih sayang. Upayakan agar kita menghargainya, membalasnya. Kita bukan pusat dari hubungan yang dijalani, kita bukan aktor utama. Aku seringkali sedih dan kecewa oleh sikap acuhnya terhadap apapun yang kulakukan dan kuminta. Harus ada unsur saling untuk mengimbangi, jangan berpikir bahwa kita adalah objek yang dikenai tindakan terus menerus.
Mengenalnya juga membuatku belajar berbagi. Kami sering patungan jika membayar sesuatu. Ini bukan soal gengsi, tapi pengertian antara kita dan pasangan. Pengetahuannya yang cukup baik tentang agama, caranya memandang hidup dengan landasan agama, membuatku memegang prinsip hidup beragama yang moderat. Cara berpikirnya dalam menilai seseorang dan sesuatu juga menambah wawasan belajarku. Sikapnya yang sangat patuh terhadap ibu nya membantuku berusaha lebih menyayangi dan menghormati Mama. Kemampuannya survive dengan keterbatasan dana asupan dari orang tua membuatku lebih belajar berhemat.
Aku juga belajar untuk tidak memaksakan kehendakku agar ia berlaku seperti yang aku inginkan. Aku sering sekali komplain jika ia bertingkah, bersikap, yang tidak sesuai kesukaanku. Secara tidak langsung aku memintanya menjadi bukan dirinya. Ini membuatnya tertekan. Sebenarnya aku menerima dia apa adanya, hanya saja kalau ada polah tingkahnya yang aneh dan tidak sesuai kesukaanku, biasanya aku langsung protes. Dari sini aku belajar untuk benar-benar membiarkannya menjadi diri sendiri 100%. Dan yang terpenting, aku belajar untuk tidak mencintai dengan kadar terlalu, karena jika kita terlalu mencintai manusia, kita akan buta. Sedangkan Allah memiliki sifat pencemburu, Dia tidak ingin umat-Nya mencintai sesamanya melebihi cinta pada-Nya. Mungkin Allah menegur kami, khususnya aku; untuk tidak terlalu mencintai. Dia mengambilnya dariku, memisahkannya dariku. Aku tidak ingin (lagi) kehilangan orang yang aku cintai; sayangi. Aku harus belajar untuk mencintai dengan wajar.
Boy 5
Setelahnya, aku berhubungan dengan berondong untuk pertama kalinya. Hubunganku dengannya tidak berlangsung lama, malah bisa dikatakan cepat, hanya sekitar 7 bulan. Ada saja hal-hal yang membuatku cepat naik darah. Akhirnya sikap dan pemikirannya tentang harapannya terhadap sosok seorang istri membuatku angkat tangan.
Ia selalu memonopoli waktuku untuk terus bersamanya. Aku nyaris tidak bergaul dengan teman-temanku selama menjalin hubungan dengannya. Apa saja yang aku butuhkan akan ia sanggupi, entah itu untuk mengantarku kemana saja mencari kebutuhanku, menemani hingga aku menyelesaikan urusan kebutuhanku, tapi tidak untuk aku main bersama teman-temanku.
Ia tahu keinginanku menjadi diplomat (berondong perdanaku ini anak jurusan Hubungan Internasional), ia juga tahu ketertarikanku pada bidang hubungan mancanegara. Ia tahu apa yang menjadi harapanku, cita-citaku. Tapi sepertinya ia berencana memingitku. Begini katanya,
"Udah, nanti jadi istri diplomat aja. Kan kalo udah jadi istri diplomat gak usah kerja lagi, di rumah aja."
What?!
Ia berkata demikian dengan maksud yang menjadi diplomat adalah dirinya, dan aku yang akan menjadi istri(nya). Apa katanya? Gak usah kerja lagi?? Di rumah aja??? +_+
Kata-katanya membuatku ilfeel dan menyadari aku dan dia berbeda pandangan tentang peran suami dan istri. Aku setuju dengan kata-kata temanku saat aku menceritakan hal ini pada temanku itu :
"Ihh dia itu ya, anak hubungan internasional tapi kok cara berpikirnya konvensional. Global donk!"
Mengenalnya membuatku belajar untuk tidak posesif terhadap pasangan kita. Setiap orang punya komunitasnya sendiri. Sebelum berpacaran, setiap orang sudah punya dunia masing-masing. Pasangan kita juga perlu dan butuh bersosialisasi. Dunia bukan hanya milik berdua, milik orang banyak bo'! Mengenalnya juga membuatku belajar untuk tidak egois pada pasangan kita dalam memberinya kebebasan memilih jalan karirnya. Kebebasan bersyarat, tentu saja. Setiap orang punya kebutuhan dan kemampuan untuk berkarya. Kenapa harus merumahkan istri? Mungkin maksudnya agar istri fokus pada pekerjaan rumah tangga, tapi semua kan bisa dibicarakan?
Aku belajar untuk menghormati dan menghargai permintaan pasangan kita tentang pilihan bekerja bagi perempuan jika sudah menikah. Bagaimanapun aku adalah perempuan, aku harus tetap menurut pada suami. Namun bukan berarti aku jadi pingitan. Apalagi aku melihat maksud mantanku ini bukan karena agar aku fokus pada pekerjaan rumah tangga, namun lebih pada sifat pencemburunya yang cenderung posesif. -_-"
Boy 6
Usai dengannya, aku kembali jalan dengan berondong; teman satu perguruan silatku. Dari awal aku sudah diingatkan teman-temanku untuk tidak wasting time menjalin hubungan dengannya. Namun aku bersikukuh akan menerjang badai bersamanya. Yang ada aku malah terhempas badai dan ia yang menghembuskan badai itu padaku.
Selama dengannya, aku selalu menepis berbagai ketidakmungkinan yang ada untuk bersatu. Aku lupa pelajaran dari pengalamanku dengan mantanku yang 5 tahun bahwa seharusnya aku tidak terlalu mencintai. Aku terlalu mencintainya, menyayanginya, mengorbankan nama baikku demi nama cinta. Kalau dipikir-pikir tindakanku itu sungguh beresiko. Apa yang aku lakukan demi dia sudah terlalu jauh, sudah melampaui batas. Uang, harga diri, nama baik, resiko kehilangan teman-teman, menjadi taruhannya.
Rentang waktu sekitar 8 bulan bersamanya berakhir dengan kesakitan. Bukan maksud mengungkit-ungkit apa yang telah aku perbuat, namun ia bahkan tak menginginkan kehadiranku lagi dalam kehidupannya. Segala daya telah aku upayakan untuk memberinya pengertian, segala daya telah aku upayakan untuk tetap kuat bertahan jalan dengannya, aku benar-benar sudah menembus batas. Aku lupa. Harusnya aku mencintainya dengan wajar. Mungkin Allah menegurku (lagi) dengan memisahkannya dariku.
Mengenalnya membuatku belajar untuk tetap memakai akal logika dan insting dalam menjalin suatu hubungan. Cinta memang ajaib, membuat orang lemah jadi kuat dan membuat orang kuat menjadi lemah. Membuat orang optimis melalui semua aral yang melintang. Namun cinta tidak boleh sampai membuat kita buta, tuli. Cinta tetap butuh logika. Mengenalnya juga membuatku belajar untuk tidak memaksakan diri berbuat sesuatu di luar kemampuan kita. Ingat, mencintai dengan wajar! Well, cinta memang bisa mendorong kita berbuat lebih dari kemampuan kita, tapi harus tetap diingat apa tujuan dan resiko dari tindakan kita. Cinta tetap butuh logika.
Mengenalnya juga membuatku menyadari bahwa tidak selalu memiliki banyak persamaan dengan pasangan kita adalah hal yang baik. Sama-sama berperasaan halus, kadang bisa membuat lebih pengertian, kadang juga bisa memicu rasa cepat tersinggung. Perbedaan yang ada jangan selalu disikapi negatif. Saling mengisi dan melengkapi sangat dimungkinkan terjadi dari perbedaan yang ada. Contohnya jika yang satu hemat, dan yang satu boros. Dan yang terpenting, aku kembali belajar untuk tidak mencintai dengan kadar terlalu, karena jika kita terlalu mencintai manusia, kita akan buta. Aku tidak ingin (lagi-lagi) kehilangan orang yang aku cintai; sayangi. Aku jadi semakin belajar untuk mencintai dengan wajar.
Semua kisah masa laluku aku jadikan pengalaman berharga yang mengajariku menyikapi kehidupan, khususnya kehidupan percintaan. Rasa senang, bahagia, sedih ataupun sakit karena cinta membuatku lebih dewasa menjalani kehidupan cintaku saat ini.
Saat ini aku menjalin hubungan dengan teman SMA-ku. Insya Allah Calon Jaksaku, demikian aku sering memanggilnya, adalah pelabuhan hatiku yang terakhir, amin. Reuni kecil bersama teman SMA yang diadakan di Jakarta menjadi awal rasa cinta tumbuh di antara kami. Dan alhamdulillah, aku merasa diringankan dalam mencintainya. Pelajaran yang aku ambil dari kisah-kisah masa laluku sangat membantuku menghadapi dan menyikapi Calon Jaksaku.
Kini aku tidak mudah marah terhadap hal-hal kecil yang remeh-temeh, aku tidak memaksakan kehendakku untuk dia bertingkah sesuai kesukaanku, dan alhamdulillah aku gak ilfeel dengan keanehannya!! ^_^ Aku tetap berusaha mengajaknya bicara tentang segala sesuatu yang mengganjal walaupun aku dan atau dia tengah emosi, aku tidak menutup telingaku untuk mendengar penjelasannya.
Aku jadi lebih menghargai apa saja yang dilakukan pasanganku, karena aku tidak ingin pasanganku merasakan sedih dan kecewa seperti yang dulu aku alami ketika mantanku mengacuhkan apa yang telah aku perbuat untuknya. Aku semakin disadarkan oleh pasanganku sekarang bahwa bukan hanya aku yang butuh disayangi, namun ia pun juga. Aku memberinya kebebasan bermain bersama teman-temannya karena aku tidak ingin ia merasa kehilangan kehidupannya yang lain setelah berhubungan denganku sebagaimana aku pernah merasakannya dulu dengan berondong konvensional. Aku juga selalu berusaha mendukung langkahnya ke depan dalam meniti karir dan pendidikan yang lebih tinggi agar ia tidak merasa terhalangi olehku seperti aku tidak suka dihalangi.
To all the boys I've loved before, terima kasih untuk asam manis cinta yang pernah kalian berikan padaku. Terima kasih untuk tawa dan air mata yang pernah tercipta. Semuanya membantu mendewasakanku, menempaku menjadi lebih matang menghadapi (insya Allah) cinta sejatiku kini.
Bagi teman-teman sekalian, aku pikir kalian juga punya masa lalu. Pasangan kalian pun (mungkin) punya masa lalu. Belajarlah dari kisah kalian yang dahulu untuk menjadi lebih baik dalam mencintai pasangan kalian kini, dan untuk menjadi lebih layak dicintai oleh pasangan kalian kini. Kita bisa lebih baik sekarang karena masa lalu, dan apa yang kita lakukan sekarang adalah untuk masa depan.
Teruntukmu Cin(t)a-ku, jangan lagi kau ragukan cintaku padamu. Aku telah mengunci hatiku untukmu.
Mereka adalah masa laluku, hanya masa laluku. Masa sekarang, dan masa depanku, insya Allah adalah bersamamu, amin. ^_^
No comments:
Post a Comment