Beberapa hari lalu aku mengikuti program acara Oprah Winfrey Show di televisi dengan topik "Depresi". Topik itu membahas anak-anak yang depresi akibat mendapat kekerasan mental oleh teman-teman sekolahnya dan berakibat fatal, yakni bunuh diri. Ejekan-ejekan kaum populer di sekolah terhadap anak-anak baik yang terjadi terus-menerus bahkan bertahun-tahun membuat anak-anak baik tertekan dan memutuskan bunuh diri.
Ejekan yang diterima anak-anak yang menjadi contoh kasus dalam topik tersebut adalah ejekan "homo". Mereka merasa sangat direndahkan apalagi teman-teman mereka satu-persatu mulai meninggalkan mereka. Malu, kesal, marah, semua campur aduk dan sedihnya mereka tidak tahu bagaimana harus membela diri.
Sekolah tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas pengaduan siswa yang mengalami perlakuan semacam itu. Sekolah fokus pada sistem proses belajar mengajar, persiapan ujian, dan kelulusan. Padahal mestinya sekolah juga turun tangan dalam mendidik para siswanya untuk tidak melakukan kekerasan baik fisik maupun mental terhadap sesama siswa.
Dalam topik itu ada seorang audiens yang mengangkat tangannya meminta waktu untuk share. Ia mengatakan kiranya sekolah-sekolah lain mencontoh sebuah sekolah negeri yang mengajarkan anak didiknya untuk tidak melakukan kekerasan fisik dan mental terhadap sesamanya, dan juga mengajarkan untuk membela temannya jika ada yang memperlakukan temannya tersebut dengan tidak baik.
"Aku pernah tahu cerita ada seorang anak perempuan yang selalu diejek oleh teman-teman sekolahnya. Akhirnya ia pindah ke sekolah negeri. Di sekolah barunya, ia dan teman-teman barunya mengadakan study tour ke museum. Dan ternyata sekolahnya yang lama juga mengadakan study tour pada waktu bersamaan. Anak perempuan tadi bertemu dengan teman-teman sekolahnya yang lama dan mulai kembali diejek. Tak jauh dari tempat anak perempuan itu berdiri, teman-teman barunya melihat lalu segera mengelilingi anak perempuan tadi dan berkata,"Yang seperti ini tidak perlu didengarkan, ayo kita pergi."
Seandainya saja semua sekolah mengajarkan hal yang sama seperti sekolah negeri itu," cerita audiens tadi.
Ejekan yang diterima anak-anak yang menjadi contoh kasus dalam topik tersebut adalah ejekan "homo". Mereka merasa sangat direndahkan apalagi teman-teman mereka satu-persatu mulai meninggalkan mereka. Malu, kesal, marah, semua campur aduk dan sedihnya mereka tidak tahu bagaimana harus membela diri.
Sekolah tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas pengaduan siswa yang mengalami perlakuan semacam itu. Sekolah fokus pada sistem proses belajar mengajar, persiapan ujian, dan kelulusan. Padahal mestinya sekolah juga turun tangan dalam mendidik para siswanya untuk tidak melakukan kekerasan baik fisik maupun mental terhadap sesama siswa.
Dalam topik itu ada seorang audiens yang mengangkat tangannya meminta waktu untuk share. Ia mengatakan kiranya sekolah-sekolah lain mencontoh sebuah sekolah negeri yang mengajarkan anak didiknya untuk tidak melakukan kekerasan fisik dan mental terhadap sesamanya, dan juga mengajarkan untuk membela temannya jika ada yang memperlakukan temannya tersebut dengan tidak baik.
"Aku pernah tahu cerita ada seorang anak perempuan yang selalu diejek oleh teman-teman sekolahnya. Akhirnya ia pindah ke sekolah negeri. Di sekolah barunya, ia dan teman-teman barunya mengadakan study tour ke museum. Dan ternyata sekolahnya yang lama juga mengadakan study tour pada waktu bersamaan. Anak perempuan tadi bertemu dengan teman-teman sekolahnya yang lama dan mulai kembali diejek. Tak jauh dari tempat anak perempuan itu berdiri, teman-teman barunya melihat lalu segera mengelilingi anak perempuan tadi dan berkata,"Yang seperti ini tidak perlu didengarkan, ayo kita pergi."
Seandainya saja semua sekolah mengajarkan hal yang sama seperti sekolah negeri itu," cerita audiens tadi.